Desember 27, 2008

Catatan Akhir Desember

Saya tak tahu kemana tahun akan membawa saya, sebab selalu di akhir desember seperti ini, disaat semua mengumpulkan lalu menanam harapan baru, saya malah bingung tahun depan mau apa? Saya tahu, saya tak bisa kembali ke masa lalu, bahkan beberapa menit yang lalu, saya tak mungkin bisa mengulanginya lagi. Saya seringkali kehilangan arah, kehilangan motivasi, kehilangan banyak hal disaat orang-orang sedang sibuk mempersiapkan diri memasuki tahun yang baru.

Saya memang berbakat menjadi pecundang, tanpa harus berlatih sekalipun. Sungguh, di akhir desember seperti ini, saya selalu merasa benar-benar telah menjadi pecundang bagi hidup saya sendiri.

Baiklah, lupakan tentang si pecundang itu. Saya hanya ingin bertanya; apa harapanmu tahun depan? Dengan bertanya seperti itu, saya berharap bisa melewati pergantian tahun tanpa merasa menjadi manusia paling dungu, karena tak bisa berharap apapun pada hari esok, kelak, tahun baru itu, 2009 itu.

November 26, 2008

Cikurai Suatu Ketika
04-06 Juli 2008




Di antara kami belum pernah ada yang sebelumnya ke Cikurai. Gunung yang terletak di kota Garut ini nyatanya mempunyai magnet tersendiri, tiba-tiba saja kami berdelapan sudah berada di terminal Guntur ketika jam menunjukan pukul 02.00 wib. Kami sampai di terminal dan memutuskan untuk mencari tanah yang agak lapang untuk sekadar istirahat. Tanya sana-sini, kami memutuskan untuk mendatangi mesjid terdekat dengan terminal.

Dingin lantai mesjid, angin subuh yang menusuk, membuat saya sedikit menggigil. Saya memutuskan untuk membuka matras, memasuki sleepingbag dan tidur dengan nyenyak. Saya tak tahu teman-teman yang lain melakukan apa setelah saya lelap. Saya hanya merasa butuh memejamkan mata agar besok bisa punya energi untuk naik. Saya terbangun ketika yang lain sudah packing dengan rapi. Ya, saya telat bangun, kalau tidak dibangunkan, mungkin tak akan bangun.

Pagi-pagi kami sarapan. Saat kami tengah sarapan itulah, seseorang menawari kami angkutan umum untuk sampai di pos pemancar. Mereka berjanji akan mengantar kami sampai pos tersebut dengan biaya 10.000 rupiah per-orang. Karena di antara kami belum pernah ada yang ke sana, kami menyepakati saja dengan cepat. Di akhir perjalanan, kami tahu, pilihan kami itu salah besar.

Angkot mulai berjalan membawa tubuh kami menjauh dari terminal. Kami tak berpikir apapun sampai akhirnya saat angkot yang kami tumpangi mau berbelok menuju pemancar, angkot kami dihentikan oleh tukang ojeg. Mereka bilang, tidak boleh ada yang lewat angkutan umum ke sana, jalur itu adalah trayek mereka. Saya dan dua orang teman yang lain turun, kami bicara untuk bisa kompromi. Hasilnya tentu saja nihil, kami tetap harus turun dari angkot, dan naik ojeg mereka. Kami boleh lewat, asal kami memberikan 20.000 rupiah kepada tiap tukang ojeg. Tentu saja itu konyol. Kami akhirnya turun, membayar 10.000 rupiah per-orang kepada supir angkot, dan 20.000 rupiah untuk ojeg. Kami merasa itu jalan terbaik.

Kami naik ojeg berdelapan, melewati rumah penduduk dan perkebunan teh. Ojeg berhenti di pos pemancar. Kami tidak datang berbarengan, jadi untuk yang datang duluan, ada kesempatan untuk melihat-lihat pemancar, numpang pipis, atau hanya sekadar foto-foto. Setelah personil datang semua, kami bersiap, berkeliling untuk berdoa, dan mulai meretas jalan di tengah-tengah perkebunan penduduk.

Kami berjalan sementara debu-debu beterbangan karena angin kencang. Kami memang belum melewati batas hutan. Tanah gembur yang kami injak dengan angin yang kencang membuat perjalanan kami sedikit agak terhambat. Tapi setelah batas hutan dilewati, perjalanan mulai lancar. Sesekali saja kami istirahat untuk makan siang atau sekadar minum dan memakan cemilan. Pos demi pos kami lewati dengan pasti. Sampai akhirnya, tepat pukul 17.00 wib kaki saya menginjak puncak Cikurai dengan ketinggian 2813 mdpl.

Puncak Cikurai begitu indah. Di kaki gunung, desa-desa menghampar, nampak juga Gunung Papandayan dan pegunungan lainnya. Awan-awan itu menjelma menjadi sebuah negeri. Satu persatu dari kami mulai mendirikan tenda. Kami mendirikan tenda di puncak.

Inilah beberapa hasil jepretan dari kawan saya, Idos.


Pos Pemancar dilihat dari batas hutan


Perkebunan teh dilihat dari jalur pendakian


Setelah melewati jalan berdebu dengan angin kencang


Matahari tenggelam dilihat dari puncak Cikurai


Matahari terbit dilihat dari puncak Cikurai


Sendiri


Lautan Awan


Menjejak di Awan


Seluruh Tim (ki-ka) : Andreex, Idos, Ella, Lilis, Pritha, Saya, Anggo, Irfan

Saya tak tahu kapan saya akan menjejak lagi di puncak Cikurai. Melihat matahari terbenam dan terbit di atas sana, merasakan dingin udara. Saya hanya percaya, betapa keindahan alam Indonesia tak kalah dibandingkan negara-negara lain. Saya merasa saya belum benar-benar mengenal Indonesia, negeri saya sendiri.

Catatan ini dibuat atas kerinduan saya pada Cikurai.

Data koordinat :
Stasiun Pemancar : 07º 18′ 27″ - 107º 52′ 92″ - 1460mdpl
Pos 1 : 07º 19′ 01″ - 107º 52′ 37″ - 2066mdpl
Pos 2 : 07º 19′ 17″ - 107º 52′ 26″ - 2244mdpl
Pos 3 : 07º 19′ 32″ - 107º 51′ 98″ - 2539mdpl
Puncak Cikurai : 07º 19′ 25″ - 107º 51′ 40″ - 2813mdpl

gambaran secara singkat:
* berangkat bisa naik bis ke stasiun guntur - garut
* nyampe terminal guntur - garut, kalo ditawarin carter mobil jangan mau
* kalo dirasa perlu, disarankan beli logistik diterminal
* lanjut pake angkot jurusan patrol
* turun di pertigaan arah perkebunan dayeuh manggung
* dari situ pake ojek sampe stasiun pemancar
* gak ada perijinan khusus, kita cuman lapor ke pos petugas security perkebunan teh, lokasinya kelewatan sebelum nyampe pemancar (gratis)
* nyampe pemancar, kebutuhan air dipenuhi disini, bisa minta ke petugas stasiun pemancar
* lama perjalanan sampe puncak sekitar 7-8 jam
* kondisi trek terjal berdebu
* hati2 banyak percabangan
* kondisi di puncak, angin cukup besar jadi siapin tenda sebaik mungkin, lengkapi pasak tambahan bila perlu

kenali negerimu, cintai negerimu

November 24, 2008

kepada mavic

aku ingin kembali ke masa lalu
menunggumu di lantai tiga sebuah gedung tua
memastikan apakah sepedamu yang itu
telah terparkir di bawah sana

lalu kita menghabiskan secangkir kopi bersama
bicara tentang apa saja yang membuat kita tertawa
tentang hari-hari yang seringkali ricuh di tanganmu
dan aku yang seringkali tak bisa membedakan
letak hari ini dan kemarin

aku ingin kembali ke masa lalu
berharap jalanan tak basah oleh hujan
membiarkan sepedamu meluncur
membawa tubuhku, tubuhmu
ke balik malam

Oktober 31, 2008

catatan akhir oktober

hujan mengirim suaranya ke jantungku. aku terlempar ke dalam basah yang mencekam. jalanan menjelma petir. ada sungai yang mengangkut seluruh kotoran melewati kenangan di setiap kepala orang orang. aku menjadi bagian dalam hujan. terperangkap rintik.

aku membayangkanmu sedang membuat perahu kertas. melepasnya di sebuah jembatan. perahu itu terbang mencari nasibnya sendiri. dan kamu kembali menyusuri takdirmu. mencari penyebab kenapa kamu tak pernah bahagia.

tapi ini cuma bayangan. aku masih terperangkap rintik yang menderas. menguras hangat dalam dada. aku kini gigil menyaksikan segenap suara mengubah dirinya menjadi air. aku memasuki labirin air. mencari kamu yang sedang membuat perahu: serupa nuh.

Oktober 11, 2008

di balik jendela

saya tak ingin menulis apa-apa lagi, segalanya seperti telah selesai diucapkan, telah selesai dilakukan. maka saya, hanya tinggal duduk, melihat apa yang akan lewat. saya tak begitu paham tentang cuaca juga musim. tapi cukup bagi saya merasa bahwa dunia sebentar lagi tak ada.

dunia saya, dunia yang sudah lama saya tekuni, dunia yang saya perjuangkan di hadapan banyak orang. dunia yang mampu melumpuhkan segala kesadaran. dunia yang saya benci sekaligus saya cintai.

kali ini saya menjelma seorang tua, yang menatap dunianya dari kursi goyang, mencoba mengembalikan ingatan, betapa bahagianya ia dulu, sewaktu tenaga masih ada dan gejolak begitu membara. kini, saya mencoba menerka apa yang dirasakan orang di luar sana.

Oktober 01, 2008

keun urang teundeun dihandeuleum sieum
cag urang tunda dihanjuang siam
urang buka panto anyar mangsa balebat fitri nu rek liwat
ku kaweningan galih kasucian ati
tutup lawang tukang gambaran kahirupan nu geus kaliwat
hapunten nu kasuhun hampura nu diteuda

Minal Aidin wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Selamat Idul Fitri 1429 H

September 30, 2008

takbir menggema
suara petasan dan kendaraan seolah ingin mengalahkan gema itu
terompet dan teriakan begitu hiruk, begitu pikuk

takbir menggema
tapi di ruangan ini semuanya terdengar begitu samar
petasan dan kembang api, klakson dan deru kendaraan
semuanya terdengar samar

aku di sini, dalam sebuah ruangan
mencoba meramu semua perasaan dalam satu kata
:biru

Agustus 31, 2008

Agustus 26, 2008

tentang cinta dan ketagihan

malam ini tiba-tiba seorang teman bicara tentang cinta, sesuatu hal yang sudah lama sekali saya hindari. dia, kawan saya itu, sedang ingin memisahkan antara cinta dan ketagihan. mari kita simak pendapatnya tentang cinta dan ketagihan.

cinta itu pembenaran pribadi atau bersama terhadap suatu hal yang dianggap sebagai suatu sub sense dari suka, mungkin. atau ada yang mengatakan juga cinta itu loncatan listrik sesaat yang timbul di ujung neuron yang muncul pada satu kondisi tertentu. tapi definisinya absurd.

cinta tidak ada bedanya dengan rasa lain undefined dan merepresentasikan rasa itu sendiri, apa itu sayang? apa itu benci? apa itu sakit? tidak terdefinisikan karena secara biologis itu hanya bagian dari reaksi tubuh, namun karena banyak hal terlalu di ekspos. karena cinta merepresentasikan rasa, jelas beda dengan ketagihan, kalau ketagihan merepresentasikan tuntutan

lantas saya tergelitik untuk bertanya: tapi keduanya bisa menjadi satu jalinan yang tak terpisahkan? atau memang kalau ada cinta, tak akan ada ketagihan? atau bagaimana?

esensi frasenya bukan keterikatan cinta dan ketagihan, tapi apakah yang kita rasakan merupakan cinta atau ketagihan. idealnya cinta itu murni karena bagian dari rasa, pure humanly, sementara ketagihan adalah dibuat, diharuskan, dibiasakan, it's EGO. jika tidak dikelola dengan baik, rasa cinta berubah jadi ketagihan, efeknya mungkin lost orientasi dalam suatu ikatan.

dari "karena cinta saya harus bersama kamu" menjadi hanya "saya harus bersama kamu."

lalu bagaimana menurut anda?

Agustus 08, 2008

bulan nyangkut di ruwet kabel dan tiang listrik
agustus terbakar, asapnya mengepung menjadi tenung
segalanya mungkin berakhir di sini
di satu waktu, ketika kita merasa
tak ada lagi yang bisa dijelaskan
tak ada lagi yang bisa ditegaskan
mari berjalan sendiri
menggali kubur
bagi diri

Juli 24, 2008

masih di sini

saya masih di depan komputer ketika sms itu masuk ke inbox hp saya. dia bertanya kabar, dan bertanya apakah saya telah membaca sebuah novel, dia menyebut sebuah judul. saya benar-benar tidak tahu judul novel yang disebutnya, tapi dia seolah tak percaya. mungkin konyol, karena dia tahu selama ini pekerjaan saya tidak jauh dari buku. tapi sungguh, hidup saya sedang kacau saat ini. saya tidak peduli pada banyak hal. saya hanya sedang mementingkan diri saya sendiri.

bahkan lebih parah lagi, saya ingin menghabisi diri sendiri, biar tuntas beban hidup. bagaimana mau berpikir sebuah novel baru saja terbit? sama sekali tak terpikir dalam kepala saya. dan malam ini, dia mengingatkan saya pada banyak hal. pada sesuatu yang bernama harapan. meski pada akhirnya saya tak lagi mempercayainya.

dia mengatakan bahwa ada beberapa perempuan yang sedang dekat dan tengah ditaksirnya. sesuatu yang akhir-akhir ini tengah saya hindari. komitmen, hubungan, atau apapun itu namanya, telah membuat saya sakit, berlipat-lipat. membuat saya tak lagi percaya bahwa dalam hidup ada sesuatu yang bernama kebahagiaan. saya tak percaya.

malam ini, saya berharap bisa mendengar suaranya, meski sebentar saja. tapi nyatanya dia sedang tidak ingin diganggu dengan suara yang membawa aroma kesedihan, dia tidak ingin malamnya dihantui oleh segala keluh dan kesah tentang hidup. saya paham, bahwa dia sedang berusaha bangkit dan menantang hidup yang keras ini. saya paham betul.

dan akhirnya, saya masih di sini, di depan monitor, menuliskan kata-kata tak penting ini.

Juli 20, 2008

di sini sepi. begitu sepi.
seperti saat seseorang diamdiam pergi.
hanya ada cermin yang mengirimkan wajahku ke dalam sunyi.

Juli 03, 2008

saya sudah lelah dengan semuanya. sangat lelah. sepertinya, dada saya hampir pecah. seringkali saya ingin membenturkan kepala saya ke tembok, memecahkan semua yang ada di dalamnya. tak ada yang pernah mengerti kenapa seseorang harus terlahir ke dunia dan menanggung beban yang teramat berat. konon katanya ini adalah hukuman, karena adam dan hawa memakan buah terlarang.

jika memang benar dunia ini adalah hukuman, bolehkah saya mengganti hukuman yang tengah saya terima ini dengan kematian? saya sudah tidak sanggup lagi. sungguh!

Juni 19, 2008

pentagon



duka cita yang sedalam-dalamnya, atas kebakaran di pentagon.
semoga sejarah yang tertoreh di sana, takkan pernah lekang
minimal dalam ingatan

UPDATE
sesungguhnya, saya ingin menuliskan semua perihal gedung pentagon --rumah kedua saya itu. tapi nyatanya saya tak bisa menuliskan apapun. saya ingin bercerita banyak hal tentang bagaimana pentagon telah banyak menyimpan peristiwa. tentang malam-malam saya yang panjang, gelas-gelas kopi yang berserak, abu dan puntung rokok yang saling tindih dengan kertas-kertas dan sampah yang tercecer. ah... semuanya mengingatkan saya pada masa lalu. saya ingin kembali pada masa-masa itu, sungguh!

saya ingin mengulang lagi peristiwa yang dulu. saat aku dan kamu masih seperti kanak-kanak, bersepeda, meluncur, pada sebuah jalan menurun, sebuah malam yang hitam.

Mei 30, 2008

negeri di atas awan itu, katon!



dulu, saya tak percaya ada negeri di atas awan, meski berulang kali saya mendengarkan lagu milik katon bagaskara. tapi sejak saya menginjakkan kaki di puncak merbabu, dan berkali-kali setelah itu berjalan memasuki lebat pepohonan dan mencoba menikmati alam dengan berbagai rintangan yang mau tidak mau membuat saya perlahan-lahan memahami, bahwa negeri di atas awan itu nyata adanya.

ketika bumi lebih tinggi dari awan dan langit terasa lebih dekat dari jangkauan, saat itulah saya seringkali merasa bahwa saya begitu kerdil. kerlip cahaya dari perkampungan di kaki gunung lebih nampak serupa kunang-kunang. saya tidak sedang di manhattan, tapi lampu-lampu itu pun, menjelma seribu kunang-kunang di dasar lembah. jauh, sangat jauh dari jangkauan.

malam semakin larut, udara semakin menekan, saya menggigil, dan saat itulah saya semakin menyadari, betapa saya tak berarti sama sekali. saya hanyalah pemilik tubuh yang rapuh, tak berdaya apa-apa. sepersekian derajat lagi dingin itu memburu tubuh saya, maka mampuslah saya. tapi malam itu, alam masih berbaik hati, suhu dingin itu, tidak sampai membunuh saya. seorang kawan berteriak di luar tenda, "sudah pukul empat, bangunlah, kita sambut matahari pagi!"

saya pun menggeliat dari dalam tenda, lantas bersiap menyambut matahari pagi. merasakan nikmatnya hidup di dalam negeri atas awan.

catatan dari trip slamet, 16-18 mei 2008

Mei 15, 2008

berjalan (lagi) menuju matahari terbit



mungkin malam ini adalah semacam malam perpisahan. besok saya akan berangkat (lagi). perjalanan kali ini, masih seperti perjalanan lainnya juga. menuju timur matahari. menuju sesuatu yang pada akhirnya akan kembali membuat saya pulang. pulang dengan letih yang sangat. pulang dengan sunyi yang mungkin makin akut. atau malah sebaliknya, pulang dengan membawa sesuatu yang selalu membuat saya ingin pergi lagi.

perjalanan kali ini ke Purwokerto. seseorang tiba-tiba mampu mengembalikan gairah saya untuk mendaki gunung. dia, tiba-tiba membuat saya berniat lagi mengumpulkan barang-barang yang sudah lama saya lupakan; ransel, matras, sleepingbag, senter, raincoat, sarungtangan, jaket tebal, nesting, dan semua hal yang semestinya saya bawa untuk mendaki.

saya tak tahu, apakah perjalanan ini akan membawa saya kembali ke sini atau malah sebaliknya. tapi bagi saya, perjalanan ini adalah perjalanan menemukan kembali sesuatu yang dulu mungkin sempat hilang atau saya abaikan. besok, sebelum matahari tenggelam saya akan berangkat.

semoga saya bisa mencatat semuanya di sini, kelak, setelah saya kembali.

Mei 03, 2008

Saat Sigit Menyusuri Lorong-lorong Dunia



Anda pernah jalan-jalan? Tak perlu jauh, mungkin jalan-jalan di kompleks rumah, atau keluar sedikit, memasuki gang-gang sempit, melewati rumah-rumah kumuh, atau malah jalan-jalan di mall?

Ya, tentu saja, semua orang pernah jalan-jalan. Tapi jalan-jalan saya dan anda tentu saja akan sangat berbeda. Mungkin bagi anda, jalan-jalan yang menyenangkan itu adalah jalan-jalan ke mall, melihat-lihat barang-barang dibalik etalase, meski tak membeli, tapi dengan melihat-lihat dan menikmati suasananya, anda merasa sangat terhibur. Atau seperti kawan saya Sigit, dia selalu punya waktu setiap tahunnya untuk jalan-jalan ke negara-negara yang belum pernah dikunjunginya. Meski dengan begitu, kawan saya itu, harus mencari pekerjaan yang cukup longgar, yang bisa memberi waktu luang untuknya berjalan-jalan.

Saat ini, sudah hampir 26 negara yang telah dikunjunginya. Mulai dari Spanyol, Italia, Austria, Jerman, Perancis, Belanda, Inggris, Ceko, Belgia, Turki, Yunani, Bulgaria, Rusia, Thailand, Kuba, Meksiko, Mesir, Tunisia, Kenya, India, sampai dengan Vietnam, China, Maroko, Portugal, Irlandia, dan Hongaria. Ke-26 negara tersebut dijelajahinya bersama istri yang dicintainya. Kawan saya itu, tak pernah melewatkan moment-moment dalam perjalanannya. Dia selalu mencatat dengan detail semua yang dialaminya. Bagaimana dia mengunjungi gedung-gedung bersejarah dalam sebuah kota, menangkap suasana kota di malam hari, atau memasuki sebuah perpustakaan dan museum, bahkan sampai rasa dan bentuk makanan yang menarik baginya, dia catat.

Semua hal yang telah dicatatnya itu dia bagikan kepada anda dalam sebuah buku yang berjudul Menyusuri Lorong-lorong Dunia. Dalam buku ini, anda bisa membaca banyak hal yang dialami kawan saya tersebut saat jalan-jalan ke berbagai negara.

Dengan membaca bukunya, saya seolah-olah diajak masuk ke berbagai negara yang dikunjunginya. Bukan hanya memasuki sebuah negara dari sesuatu yang kasat mata. Tetapi ruh dibalik sesuatu yang kasat mata itu. Saya sulit menceritakannya kepada anda. Jika anda juga tertarik memasuki lorong-lorong dunia, Sigit akan mengajak anda dengan bukunya.

Saran saya, bacalah buku ini di saat anda sedang santai, dengan secangkir teh atau kopi. Sebab anda akan diajak untuk merambahi sebuah kota dari berbagai negara ala Sigit.

April 05, 2008



hidup seperti mendaki gunung, katamu. aku mempercayainya. kita bertemu pada sebuah persimpangan, lantas tiba-tiba sebuah keadaan memaksa kita untuk terus berjalan bersama. melewati terjal bebatuan, melewati turunan yang curam, melewati deras arus sungai, melewati semuanya, hingga kelak, sebuah puncak kita gapai.

puncak itu memang sudah nampak, tapi sesuatu seperti memaksaku berpikir ulang, berjalan di jalan yang ini, atau berubah haluan? aku tak tahu bagaimana aku tanpamu. tapi sungguh, jika pun berjalan bersamamu seperti sekarang ini, aku tak yakin, puncak yang kita tuju itu sama.

saat inilah baru kusadari, aku tak pernah punya tujuan. puncak yang kulihat selama ini seperti mengabur, dan aku kehilangan koordinat. ada kamu di sampingku, tapi aku tak tahu tujuanmu kemana. aku hanya takut tak pernah bisa benar-benar menemukan tujuanku sendiri.

maka ijinkan aku untuk berjalan sendiri. menyusun peta sendiri.

April 01, 2008

Suatu Hari, Ketika Aan Pindah Rumah



Saya lupa, sejak kapan saya mengenal Aan. Tapi saya tahu pasti, pertemuan saya dengannya bukanlah pertemuan yang disengaja. Saat itu saya ke Solo untuk sebuah acara workshop kepenulisan. Saya jadi peserta waktu itu, dan bertemulah saya dengan Aan di sana. Dia datang dari Makassar bersama Rahmat Hidayat, seseorang yang selalu mengingatkan saya pada karcis Prameks. Pertemuan saya dengan Aan betul-betul pertemuan yang sangat biasa. Hanya tiba-tiba, pada satu percakapan kami, jejalin itu mulai terlihat. Aan, ternyata kawannya Ochan, sahabat saya yang saya temukan secara ajaib. Saat itu Akademi Kebudayaan Yogya (AKY) masih ada, meski lokasinya sudah pindah. Kami menginap di AKY, sebelum besoknya saya kembali ke Bandung.

Beberapa hari ini, saya bertemu hampir tiap hari dengan Aan. Tidak di Solo, tidak juga di Makassar, tapi di Bandung. Di kota saya sendiri. Ransel di punggungnya begitu sarat. Dia masih seperti Aan yang dulu, Aan yang saya kenal di Solo. Dari ransel di punggungnya itulah saya mengerti bahwa dia Hendak Pindah Rumah. Saya tak bertanya, ke mana dia pindah rumah. Saya toh pada akhirnya akan tahu sendiri, begitu pikir saya.

Tadi malam, tanpa saya bertanya, dia begitu banyak bicara. Dan akhirnya saya mengerti, ke mana dia pindah rumah. Saya mengenal Aan berumah di sini sejak lama. Lantas sekarang, saya melihatnya di banyak tempat. Di tempat-tempat yang bahkan tak pernah terpikirkan. Mungkin kamu juga akan kaget, ketika tiba-tiba kamu tersadar, Aan sudah berumah di hatimu, di jiwamu.

Bagaimana bisa? Mungkin kamu akan berteriak sekencang-kencang yang kamu bisa, untuk bertanya tentang itu. Lantas Aan dengan santainya akan menjawab, "bukan aku yang pindah rumah, tapi puisi-puisiku, dia akan membuat ruangnya sendiri, di hatimu." Dan saat kamu menemukan jawaban itu, kamu tak akan pernah bisa menyangkalnya. Begitu pun saya. Saya tiba-tiba merasa, telah membangun sebuah ruang, entah di sudut yang mana dalam diri saya, untuk puisi-puisi Aan.

Subuh ini, Aan berkemas. Dia menyiapkan semuanya, sendiri. Ranselnya masih sarat. Kini dia ingin ke timur, membawa semuanya, untuk dia pindahkan ke rumah barunya. Kelak, saat saya berjalan ke timur, mungkin akan saya temukan jejaknya di sana.

Selamat jalan, An!
Kembalilah jika suatu saat kau merindukannya.

Maret 26, 2008

Angkot Mogok, Jalan Tetap Macet



Jika kamu kebetulan berada di Bandung pada hari ini dan kamu tak punya kendaraan, sebaiknya siapkan uang lebih. Hari ini angkot mogok. Pilihan kendaraan umum mungkin hanya ojeg dan taksi yang ada. Hampir sebagian besar angkot tak beroperasi.

Saya sendiri pada akhirnya berjalan kaki dari Dipati Ukur menuju Ultimus. Sampai di Jalan Merdeka saya sempat kaget, melihat antrian mobil dan kepadatan jalan. Di depan BIP (Bandung Indah Plaza) ternyata kemacetan masih terjadi. Padahal logikanya, semua angkot yang lewat BIP tak beroperasi. Untung kawan baik saya membawa kamera, sampai akhirnya saya sempat mengabadikan moment tersebut.

Satu hal yang dapat saya simpulkan pada akhirnya, "Kemacetan dan kesemrawutan jalan di kota Bandung bukan hanya karena angkot. Tapi karena kendaraan pribadi sudah melebihi batas untuk sebuah kota kecil bernama Bandung.

Saya masih terus berjalan, sambil memaki beberapa kendaraan yang seenak udelnya parkir di trotoar jalan. Hak pejalan kaki seringkali diabaikan. Lupakan soal trotoar yang dipakai pedagang kaki lima untuk jualan, lupakan. Karena ternyata pemakan hak pejalan kaki terbesar adalah pemilik kendaraan roda empat. Sesekali kendaraan roda dua menerobos trotoar di kala kemacetan terjadi.

Cuih!
Saya muak atas banyak hal. Dan PILKADA? Cuih... politik tai anjing!

Maret 20, 2008

ke arah timur aku pergi

setelah pertarungan kita yang sengit itu, aku harus pergi, sebentar saja. mungkin perjalanan mampu mengembalikan segala keruwetan ini pada muasalnya. agar di antara kita tak akan ada yang saling menyakiti satu dengan yang lain. tapi kalau pun ada, mungkin semesta mempunyai cara menunjukan wajahnya yang lain.

mungkin di sepanjang perjalanan itu, aku akan mengingatmu. mengingat setiap detail pertarungan di malam-malam milik kita. mungkin akan kuingat juga bagaimana tawa sinismu seolah mengejek dan menertawakan aku. mungkin akan kuingat juga lelapmu, sesuatu yang tak pernah bisa kumiliki.

tetapi yang pasti, bau tubuhmu menguntitku. membiarkan dirimu terus hadir di setiap jalan yang kulewati, hingga tak ada cara lain, selain membiarkanmu tetap hadir di sini, dalam jiwaku.

Maret 06, 2008

cukup kutulis begini,
pelukanmu itulah yang senantiasa kurindukan.

haha...
tidak, ini serius.
aku tidak butuh apapun saat ini.
kecuali pelukanmu!

anggap saja aku konyol
tapi sudah cukup membohongi diri sendiri
aku hanya ingin kau!

KAU!

Februari 24, 2008

sebuah jam di satu pagi

aku menghirup wangi hutan di tubuhmu
deras air sungai dan hembusan pohon pinus
segala yang telah lama hilang dalam ingatan

televisi itu sudah lama tak bersuara
ada boomerang di dinding kamar
cermin tua dan selimut tebal
kau sembunyi dibaliknya seperti menyembunyikan
kesedihan yang memberat

"datanglah, aku takkan mengunci pintu
agar kamu bisa masuk kapan saja"
kalimatmu beruntun di ujung telepon
menyesatkan pikiranku yang kalut.

Februari 13, 2008

Catatan Pagi di Hari Hujan



seringkali aku memercayakan hidup hanya pada langkah kaki. berjalan sendirian atau banyak orang bukan masalah. tapi kesendirian seringkali menyeretku pada nostalgia masa lalu. kepahitan yang bisa tiba-tiba datang tanpa sempat kusiapkan sebuah upacara penyambutan. kakiku ternyata lebih mengerti ke mana harus berjalan. dia lebih mengenal kelokan gang demi gang, dia fasih terhadap jalanan terjal pegunungan, bahkan dia hatam jalan setapak tanpa akhiran. maka berjalanlah aku di sini...



siapa yang mengira, sesuatu akan membawaku kembali ke sini. hutan lindung, air terjun, cericit burung, semuanya terhampar begitu saja di depan mata. seketika sunyi kembali menyergapku. mengirimkan aromanya yang khas dan kental. aku duduk, menikmati semuanya, dalam mendung, dalam gerimis yang tiba-tiba mengguyur, yang seketika berubah menjadi hujan lebat. aku diam. alam memberikan pesonanya. nyatanya, bukan hanya senja yang indah, bukan juga matahari terbit yang seringkali membuat terkesan jutaan orang. pagi hari dengan hujan lebat di tengah hutan lindung adalah pesona alam yang tak bisa juga kuabaikan.




mungkin seperti lelaki ini, kesendirian membuatnya seolah-olah kesepian. ya, kesendirian terkadang membuat seseorang bahagia atau sebaliknya. dan aku, tak ingin sendirian malam ini.

Februari 07, 2008

Februari, Aku Terkapar di Cerukmu

sesuatu menyeretku padamu, pada februari yang asing
sesuatu menyesatkan aku lagi, di labirinmu
sesak nafas ini mungkin masih akan terdengar
di subuh gigil, di pagi kuning, di pintu garang siang
juga di senja dan malam kesumat

aku terkapar di ceruk paling februari
mencari jawaban sekian pertanyaan
yang tiba-tiba saja muncul dari balik jendela

aku di sini, memahami lekuk februari
yang masih juga menolak cinta bersemayam.

Januari 27, 2008

Selamat Jalan, Jendral!

telah meninggal dunia, bapak kita tercinta,
bapak pembangunan Indonesia, H.M. Soeharto
pada pukul 13.10 WIB.

semoga tuhan membukakan pintu akhirat untuknya...
untuk segala perbuatannya di dunia.

semoga keadilan itu datang di negeri yang korup ini.

Januari 04, 2008

Memasuki Januari

matikan lampu dan kunci semua pintu
aku tak ingin terompet dan kembang api itu
menggugurkan angka pada almanak
menyeretku pada tahun yang sesat

2008

Hutan untuk Masa Depan: Kisah Inspiratif A'ak Abdullah Al-Kudus

Beberapa bulan ke belakang, tepatnya bulan Maret 2023, kawasan hutan Lindung Ranca Upas rusak, hamparan bunga rawa tak bersisa. Kerusakan ka...