Desember 30, 2002

catatan akhir tahun seorang pejalan

rindu telah dikemas menjadi kado istimewa dengan pita hitam merah muda, menunggu dikirim lewat angin malam dengan prangko kilat khusus. sedang cinta hanya berwujud sepi yang teronggok begitu saja dalam sebuah ruang bernama pulang

lampu merah telah berganti hijau, pertanda rute harus kembali ditempuh meski perbekalan sudah habis sebelum gubuk peristirahatan ditemukan, maka merangkaklah aku di sepanjang peradaban.menyeret kaki keraguan dengan paksa, sebab cemas akan menikam dari belakang jika tetap diam

dan engkau, dipuncak kesendirianmu masih mencintai luka sendiri.menghitung seribu kekalahan dengan aritmatika yang terbata

januari berlalu seperti angin berhembus lewat lubang telinga. tak ada mimpi. tak punya harapan
februari adalah segumpal senyum dari bibir merahmu yang merekah menjelma bunga, lantas aku mencoba jadi kumbang. merubah arah peta
maret, mengenang kelahiran adik perempuan
april dilewati dengan cucuran keringat dan airmata
mei kembali menjadi tragedy setelah tragedy sebelumnya menjadi misteri tak terpecahkan
juni mengingatkan pada kelahiran, pada kematian. tapi perjalanan tak boleh dihentikan
juli menjadi pertemuan yang membawa kembali perasaan yang sudah lama terkubur
agustus menyajikan dua pilihan. mengikuti petunjuk pada peta, atau kembali membuat rute baru
september melahirkan ribuan puisi untukmu
oktober mengirimkan mimpi buruk yang tak juga berakhir hingga pendakian akan segera dimulai
nopember, awal sebuah pendakian, terkapar dan terjungkal dalam semak dan rimba, terjatuh dari tebing ke lembahlembah sunyi
desember seharusnya pencapaian pada puncak kemenangan, tapi pendakian premature melahirkan seribu langkah siasia. menjadi pecundang di akhir pendakian.

catatan akhir ini dibuat dengan seksama dan dalam waktu yang selambatlambatnya.

BumiAllah, akhir desember 2002
23:59 pm


abimanyu, aku tak tahu. mungkin benar katamu. suatu saat kelak akan kutemukan apa yang kau ucapkan. serangkaian katakata indah yang menjelma mimpi dalam tidurku yang fana.

semoga kelak akan menjelma nyata!

Desember 29, 2002

abimanyu, cinta tak pernah terpenjara katamu. tapi yang kurasakan kini bukan cinta. sebuah kalimat panjang perpisahan. mungkin kelak akan juga kau rasakan, atau sudah?

aku kadang tak habis pikir, kenapa perpisahan selalu saja mengundang airmata. sedang pertemuan kadang tak menciptakan senyum.

Desember 27, 2002

untuk kekasihku, malam

surat ini kutulis pada senja yang remang, pada mendung yang tak kunjung hujan, pada saat angin berhembus sepoi. hari-hari yang lalu, saat seperti ini adalah saat yang mendebarkan, sayang. saat dimana rinduku begitu memburu, dan pertemuan denganmu adalah detikdetik yang kunanti. senja ini, terpaksa harus kutulis surat untukmu. padahal, aku ingin mencumbumu, mendekapmu dengan erat, memelukmu selamanya. kau harus tahu sayang, aku tak mungkin lagi menemuimu. bukan, bukan aku menemukan lagi kekasih lain. tidak. hanya kau yang kucintai kekasihku. hanya engkau yang berhak atas jiwaku, atas cintaku.

sayang, arus nasib membawaku jauh darimu. aku telah diseret oleh makhluk yang bernama takdir, dijebloskan dalam penjara kodrat, dibelenggu dengan rantai adat. aku kini menjadi residipis dari sebuah budaya. kini aku hanya sosok manusia tanpa keinginan, sebab inginku ada dalam pelukmu.

kau masih ingat sayang? bagaimana waktu, kita habiskan bersama. saat itu, pertama kali aku mengenalmu. pada sebuah pesta ulang tahun seorang teman, dimana kularikan tubuh ringkihku dari hingar bingar musik disko di sebuah pub tempatnya merayakan ulang tahun ke-19 itu. maka kutemukan engkau sendirian. tak ada yang menaruh perhatian padamu, sebab orangorang sudah jauh terlelap sejak beberapa jam yang telah lewat. kau kaget saat kusapa engkau dalam diammu.

“kenapa kau sendirian saja?” itu kata yang kau ucapkan pertama kali untukku.
“kau pun sendirian,” ucapku meledek.
“aku ditemani rembulan dan bebintang!” elakmu.
“kalau gitu, aku juga ditemani seseorang.” kataku tak mau kalah.
“siapa?” tanyamu penasaran.
“kamu!” jawabku sambil menunjukmu. lantas kita tertawa. tawa bahagia.

masihkah kau ingat dialog itu, sayang? aku tak pernah melupakannya sampai sekarang. dari sanalah aku menemukan keindahanmu. meski tak seorang pun menyadarinya. sejak itu pula senja selalu mengirimkan debar lain dalam dadaku. sebab senja berarti pertemuan denganmu. tapi senja kali ini mengirimkan debar yang lain. debar perpisahan.

aku terpenjara. tak lagi bisa menemuimu. tak lagi bisa mendengar ceritamu. cerita tentang orangorang yang menjadi temanmu. pernah suatu saat kau berbicara tentang seorang gadis belia yang datang padamu bercerita tentang cintanya yang terluka. tentang lakilaki yang meninggalkannya setelah tahu di rahimnya berisi benih cinta mereka. tapi kau lantas terdiam lama, tak mau meneruskan katakata. kudesak engkau, kau teruskan juga kisahmu, kau katakan gadis itu akhirnya menyerahkan jasadnya pada sungai. aku menangis dalam pelukanmu. tangis pertama setelah harihari sebelumnya selalu saja ada tawa bersamamu. kini aku pun menangis. tak ada engkau di sini. aku tak mau seperti gadis itu. mati konyol, tak bisa mengejar impiannya. aku memimpikan bisa memelukmu kembali.

sayang, harihariku menjadi asing sekarang. tak ada lagi cerita tentang cinta, airmata, rindu dan kehidupan. yang terjadi adalah istirahat yang dipaksakan. kenapa orang tua harus melarang anaknya? kenapa anak haru mengikuti keinginan orang tuanya? kenapa orang tua tak mau tahu keinginan anaknya? kenapa perempuan tak boleh keluar malam? kenapa? kenapa? kenapa?

sayang, ada banyak rindu untuk kuserahkan padamu. tapi belenggu ini susah untuk kulepas. harihariku tanpamu adalah kesunyian yang abadi. sunyi yang purba. sunyi yang membuatku terluka. luka yang dalam.

kekasihku, kutitipkan surat ini pada senja dan angin yang sepoi. aku tahu, senja akan memberikannya padamu. bukankah setiap hari dia berpapasan denganmu? aku tahu, kau takkan pernah membalas suratku. tapi itu tak penting. asal engkau tahu, kenapa aku tak lagi menemuimu, aku sudah bahagia. salamku untuk rembulan dan bebintang sahabat setiamu.

BumiAllah, 24 Desember 2002

*) ditulis oleh seseorang yang tak bisa lagi menikmati angin malam, suasana malam, dan halhal yang berbau malam.

Desember 24, 2002

terbang!

hanya mimpi yang menjelma hantu. aku terkapar, jatuh dan terluka. kini hanya tinggal penjara di depan mataku. aku tengah bersiap dihadapkan pada tiang gantungan. siap menunggu kematian?

kirimkan kalimat cintamu, sayang!
agar seluruh lelah menjelma kupukupu, dalam kepalaku.

Desember 20, 2002

mari kita bicara bahasa yang paling mudah, katamu. dan aku tersentak beberapa saat. semua tanya berloncatan dari layarlayar hidup. kilatan masalalu diputar kembali oleh seorang pengendara sepeda gunung, masa kecilku muncul lagi pada wajahwajah tirus bocah di traffic light, masa remajaku hidup lagi pada sebuah lagu yang diputar dari radio tua milik bunda.

semua mengirimkan bahasabahasanya sendiri. bahasa mana yang paling mudah? angin mengabarkan berita kematian, matahari bercerita tentang pengendara bis kota, awan mencium senja dengan hangat, sungai memeluk ikanikan dengan riang, dan aku?

bahasa mana yang paling mudah? aku bingung memaknai bahasa sendiri!

Desember 18, 2002

sebotol coca cola dia atas meja

I
mataku telah mengembara melewati sepotong malam yang gelisah, tanpa terpejam. ribuan semut berbaris di dinding ruang yang menampilkan seperangkat komputer lengkap dengan nyalanya, masih terus menggerung. dari dalamnya, sebuah berita kematian muncul menentang matahari pagi.

II
dua botol kosong dan sebuah asbak tergeletak di atas CPU, satu botol yang masih bersisa tegak di atas etalase kosong, dua gelas berisi air putih di satu gelasnya dan kopi pada gelas lain hadir di atas CPU komputer lain. sedang semua berwarna biru. sebuah lukisan menghiasi dinding berwarna biru. masih biru.

pagi yang biru!

Desember 17, 2002

aku akan mengembara. benar-benar mengembara. menjadi seekor burung, terbang di keluasan cakrawala.

Desember 16, 2002

menjelang pertemuan denganmu
: pure_saturday

sore yang basah, saat kudengar kembali suaramu yang seperti biasa. suaramu yang mampu menenangkan seluruh rasa dalam dada. aku tahu, kau datang bukan untukku. tapi kebahagiaanku seperti kebahagiaannya juga.

kubayangkan dia telah mempersiapkan sebuah perjamuan untukmu. perjamuan yang menyenangkan. dan aku, lagi-lagi hanya bisa tersenyum getir sambil mengigau, mengatakan "engkau patut bahagia dengannya."

dan kularikan airmata ini pada lembahlembah sunyi, agar kau tak bisa mendengarnya. agar kau, tak bisa mengasihani aku. agar kau bahagia dengannya. biarkan aku berlari...dan terus berlari... sebab engkau layak bahagia.



Desember 13, 2002

pagi yang cerah, saat harus kutekadkan hati untuk meninggalkan sejenak kota tempatku berada. mengembara mencari kesepian yang tertunda. mencari kehidupan yang menjelma cahaya. meski mungkin kelak kutemukan, saat aku sudah terbujur kaku. tapi biarlahhh... aku akan terus merajut kisah ini sampai bosan.

Desember 09, 2002

----<<:: TUMBANG TELUNGKUP LELAP SENYUM ::>>----
-<: Konser Duet Live idaman dan sireum bag 3)>:-


>> tumbang lagi
>> depan kibord
>> di jam aneh
>> di puncak lelah
>> di tengah repot
>> ketiduran

>> dan aku suka,
>> ketika kamu bilang esoknya ke teman dekat:
>> "ah dia itu kerjaannya ketiduran di depan komputer
>> capek aku bangunin nyuruh pindah
>> kadang akhirnya kudiemin aja
>> paling malam larut dia terbangun
>> trus nyusul"


:: aku selalu melihatmu seperti bermimpi,
:: sebab engkau selalu tersenyum dalam tidurmu.
:: meski kepalamu menunjukkan kelelahan tak terjangkau,
:: meski tanganmu mengisyaratkan ribuan kerja
:: yang belum selesai,
:: tapi aku selalu lama menatap senyummu.

:: tubuhmu telungkup di atas meja,
:: tanganmu masih di atas keyboard,
:: matamu masih mendongak, memaksa
:: memandang monitor, meski hanya gelap.
:: tapi senyummu diluar sana, terbang
:: ke dunia paling nisbi.

:: aku tak berani menjangkaumu,
:: meski sekedar mengingatkan,
:: bahwa hari beranjak pagi,
:: bahwa jam aneh itu sudah tertawa delapan kali,
:: bahwa engkau masih harus kembali memulai kerja.
:: aku tak berani.

:: lelaplah dalam senyummu,
:: sebab aku telah jatuh cinta pada senyummu.


>> delapan kali jam telah tertawa
>> dan mimpi antah berantah ntah berapakali
>> tertelungkup dihimpit kerja
>> aku tak pernah takut
>> karena kau selalu ada
>> bahkan di saat saat aku tak sadar

>> delapan kali jam telah tersenyum
>> kita saling menatap senyum pulas
>> kita saling memiliki ketika salah satu lelap

>> di lelap itulah sayang
>> kita mengerti cinta
>> sedalam dalamnya


:: kita mengerti cinta sedalam dalamnya pada lelap itu,
:: katamu mengawali kesadaran
:: dengan canda yang hanya dipahami angin malam.

:: lantas kutuntun matamu kembali pada kotak,
:: tempat dunia berputar, hanya kotak.
:: kutuntun jarimu menyentuh lagi kulit keyboard
:: yang tak pernah menjadi keriput,
:: meski jutaan tahun kau menyentuhnya.

:: kutuntun kembali seluruh tubuhmu,
:: kembali menekuri huruf huruf.
:: merangkai lagi dunia baru yang ingin kau bangun,
:: hingga jam aneh itu bernyanyi lagi,
:: bernyanyi lagi,
:: menyanyikan lagu keletihan.


----------------------------------------------------
1 des 2002: 02:40
wida sireum hideung (http://sireum.blogspot.com)
idaman andarmosoko (http://www.geocities.com/guging)
----------------------------------------------------
--<<:: MENYALAKAN LAYARMU LEPAS PUNCAK HARI ::>>---
--<: (Konser duet Live Idaman dan Sireum Bag 2) :>--


>> malam menyapaku lagi
>> menyalakan komputer di habisnya hari
>> di saat rumah rumah tak lagi bersuara
>> sepulang dari jalan yang sudah menyepi

>> aku duduk lagi disini
>> di meja yang jadi gerbang
>> menggapai titik titik yang tersebar
>> dari layar datar persegi
>> melihat nama nama di internet...
>> dan kutemu namamu


:: seperti biasa juga,
:: aku mengembalikan ingatan dengan menatap
:: layar di hadapan.
:: maka mengalirlah cerita seabad yang lalu,
:: tentang peradaban yang tua dan ringkih.
:: tentang hidup yang semakin hari semakin
:: mengirimkan luka.
:: tentang pengkhianatanmu siang tadi di sebuah kafe.

:: aku duduk kembali disini,
:: mengulang kepahitan yang sama.
:: mengulang rasa sepi yang sama.
:: bersama huruf huruf yang tak pernah
:: menjadi tua.
:: hingga mentari kembali lagi.


-----------------------------------------------------
30 nov 2002:00:52
wida sireum hideung (http://www.sireum.blogspot.com)
idaman andarmosoko (http://www.geocities.com/guging)
-----------------------------------------------------

Desember 08, 2002

--<<:: LARI RINDU DEKAP ERAT PERHENTIAN KERETA ::>>--
---<: (Konser duet Live sireum dan idaman bag 1 :>---

>> kalau aku bertiup di gerai rambutmu
>> lepaskan sukmamu menari
>> raih renggut dan dekap erat
>> hanya dekapmu sabuk pengaman
>> dalam pelarian plintir gas maksimum ini
>> bukankah kebahagian singgah kadang beberapa detik saja?

:: maka biarkan kurajut kebahagian dalam cawan dukamu.
:: biarkan kerinduan ini hanyut didalamnya.
:: sebab duka adalah rindu yang tak tersampaikan angin.
:: aku merindukan malam dalam dekapmu.

>> aku kadang bagai kereta lewat berhenti dikotamu
>> dan tak tahu jadwal brangkat kembali dan kemana
>> engkau kadang terbawa olehku berupa kenangan
>> membubung bersama asap rokokku
>> ke atap stasiun tua di jam hening
>> kerinduan mencicil kita
>> memintalnya jadi tali panjang

:: "akulah kenangan yang kau bawa sepanjang jalan"
:: katamu pada suatu senja.
:: dan aku hanya bisa membaca kata kata yang berloncatan
:: dari helaian rambutmu,
:: menjelma kalimat tanpa tanda baca.
:: "aku rindu dekapmu!" teriakku sekali lagi pada malam,
:: pada jarak yang merenggutmu dariku.
:: lantas hari hari menjelma batu.

-----------------------------------------------------
dini hari 25 nov 2002
(saat kereta harus berangkat lagi)
wida sireum hideung (http://www.sireum.blogspot.com)
dan idaman (http:/wwww.geocities.com/guging)
-----------------------------------------------------
aku gelisah menunggu kedatanganmu, mencipta hari tanpa hurufmu terasa membosankan. ribuan jarum dari langit kegelisahan begitu saja memburu ubunubunku. aku rindu! seperti hurufmu yang telah sampai padaku lewat angin dan cuaca. disini badai! katamu lagi. di sini tengah badai kerinduan, sayang. sama sepertimu di sana.

BumiAllah, 07 Desember 2002
aku tak pernah dengan benar-benar membiarkanmu pergi, sayang! tapi lidah ini kelu, saat harus kukatakan: "diamlah disini selamanya!"
aku hanya bisa mengiringi kepergianmu dengan senyum paling getir, dengan ucapan paling lirih, "selamat menyusuri kembali jalan masalalu!"
"suatu saat, akan kuajak kau ke sana. tempat masa kecilku terkubur!" katamu, sedetik sebelum ucapan selamat tinggal dilantunkan.
sekejap, engkau menjadi titik paling jauh, tak bisa kujangkau lagi.
aku kehilangan kabar tentangmu!!!

BumiAllah, 04 Desember 2002
19:28 pm

November 28, 2002

Surat Balasan Untukmu

Dalam suratku kali ini, harus kukatakan kembali padamu, kekasihku. Agar engkau tahu, apa yang tengah terjadi di sini, dalam batinku, dalam jiwaku. Agar engkau memahami, aku adalah aku. Bukan dia atau siapapun.
Sayang, sudah sering kukatakan kepadamu, bahwa aku tak pernah menyimpan satu nama pun dalam diri, pun juga namamu. Ruang batinku telah menjelma persinggahan sementara bagi nama-nama yang menginginkan peristirahatan sejenak dalam perjalanannya bergulat dengan dunia yang melelahkan, dengan hiruk-pikuk kota yang membosankan. Pintu batinku akan selalu terbuka, bagi siapapun yang mengetuknya.

Kekasihku, dari ribuan nama yang telah dengan ikhlas singgah dalam ruang batinku, tak ada seorang pun yang benar-benar menginginkan akhir dari hidupnya habis dalam ruangan itu. Mereka satu demi satu pergi, meninggalkanku. Mungkin melanjutkan pengelanaannya, mungkin juga mencari persinggahan yang lebih damai. Sebab ruang batinku mulai gaduh semenjak burung-burung kecemasan itu sering mampir di jendela dan atap.
Sayang, aku telah menjelma dermaga. Orang-orang bisa dengan bebas menepi, lantas dengan sukacita berlalu, meneruskan kembali pelayarannya.

Kekasihku, aku tak pernah menjadikan engkau dadu. Aku bukan seorang pemain yang ulung. Yang bisa menang dalam pertaruhan 1:1000.
Engkau adalah pejalan diantara ribuan pejalan yang pernah singgah di sini, dalam ruang batinku. Dan aku, harus siap kapan saja melepas kepergianmu. Jika engkau sudah merasa bosan tinggal di sini.

Hatiku tidak sesuci perempuan-perempuan padang pasir yang berdiam di oasis-oasis. Aku sempat kagum pada mereka. Mereka yang hanya mengizinkan satu nama saja untuk singgah dalam jiwanya, lantas melepas kepergian satu nama itu, dan merindukannya sepanjang waktu. Meski pada akhirnya, satu nama itu tak jua kembali. Tapi mereka tetap setia menanti. Kesetiaan perempuan gurun.
Sayang, aku tak bisa seperti mereka. Aku berani mempersilakan seribu nama untuk singgah, lantas melepaskan kepergiannya, tapi aku tak berani merindukan seribu nama itu untuk kembali. Aku memang pengecut, kekasihku. Dan aku harus membayar mahal atas rasa kepengecutanku.

Jika engkau telah bosan berdiam di sini, aku tak bisa menahan kepergianmu itu. aku tak bisa melarangmu untuk meneruskan kembali perjalan, mencari makna dan arti lain tentang airmata, sepi dan kerinduan. Aku hanya bisa melepasmu dengan senyuman getir, dengan ribuan perasaan yang selalu menjelma, saat aku harus melepas nama-nama lain itu untuk pergi. Meninggalkanku kembali sendiri, hanya sendiri. Sebab tak ada satu nama pun yang mau menetap di sini, dalam ruang batinku. Aku akan melepasmu, seperti aku melepas seribu nama lain. Maka engkau, menjelma sebuah kisah yang akan kutempel di dinding kamar ini, menambah satu lagi hiasan di ruang ini.

Tapi aku pun takkan berani melarang engkau, jika engkau tak ingin pergi dari sini. Jika itu terjadi, maka akan kututup pintu untuk nama lain. Agar engkau yang selamanya kudekap. Ah, mungkin aku tengah bermimpi atau semacam halusinasi? Sebab tak pernah ada nama yang pernah dengan sungguh-sungguh menginginkan tinggal selamanya di ruang yang begini sempit. Hanya ruang batinku. Teramat sempit bagi pejalan yang terbiasa menikmati keluasan mayapada.

Sayang, aku takkan berani mengajukan dua pilihan padamu. Diam atau pergi. Tak mungkin bagiku untuk semua itu. Aku tetaplah persinggahan sementara atau semacam dermaga. Yang dengan sadar membiarkan orang menepi dan mempersilakannya untuk kembali meneruskan pelayaran. Ya, aku tak lebih dari itu.

Maka untukmu kekasihku, kuucapkan selamat jalan kepadamu! Sebab aku tak punya keberanian untuk mencegahmu pergi. Selamat meneruskan kembali perjalananmu. Semoga kau temukan rumah damai yang akan memelukmu selamanya. Aku tak bisa memberimu apa-apa, selain kenangan.

Sayang, suratku ini hanya untukmu.

BumiAllah, 28 Nov 2002

Inilah hari, dimana kata-kata menjadi cahaya. Dia akan berteriak tentang kebenaran yang selama ini disembunyikan dalam gelap. Allah Maha Besar. Peradaban telah kembali menjadi purba. Kita telah menjadi binatang peradaban. Aku mohon! Temukanlah cahaya, karena di sanalah Tuhan bersemayam. Nyawaku berakhir di tiang gantungan, tapi Tuhan akan selalu hidup. Widzar Al-ghifari.

Hutan untuk Masa Depan: Kisah Inspiratif A'ak Abdullah Al-Kudus

Beberapa bulan ke belakang, tepatnya bulan Maret 2023, kawasan hutan Lindung Ranca Upas rusak, hamparan bunga rawa tak bersisa. Kerusakan ka...