Februari 24, 2013

Di Hari Pemilihan Itu

Nak, esok hari aku akan mengajakmu ke Tempat Pemilihan Suara. Tidak. Aku tidak akan memilih calon gubernur mana pun. Aku hanya ingin mengajakmu melihat bagaimana orang-orang diam-diam menyimpan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Aku bukannya tidak punya harapan, sehingga tak ada keinginan untuk memilih. Bukan. Aku hanya merasa, bahwa saat ini, kehidupan yang lebih baik, tidak ditentukan oleh siapa yang memimpin.

Ibumu ini mungkin adalah manusia pesimis. Tidak percaya bahwa semuanya akan berubah. Akan ada pemimpin yang dengan kerendahan hatinya, memikirkan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan serikat.

Aku ingin mengajakmu belajar di TPS. Sebab di TPS itulah, sebenar-benarnya sekolah politik. Di TPS, kita akan bertemu dengan tetangga-tetangga kita. Satu RT. Satu RW. Di sana, kita akan melihat wajah-wajah resah saat nama dan nomor antrian yang dipegang belum terpanggil. Namun kamu akan mendapati bahwa wajah itu akan sumringah seketika, saat dia baru keluar dari bilik suara. Raut wajah yang hampir tak bisa kulukiskan dengan kata-kata.

Hampir sebagian dari pemilih itu, Nak. Tetangga kita. Mereka satu sama lain, telah saling memahami, bahwa Pak A, adalah pendukung nomor sekian. Ibu C adalah pendukung fanatik nomor lain. Dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan, sebagian dari mereka tahu, bahwa ibumu ini datang ke TPS hanya untuk mencoblos semua gambar calon.

Tapi pengetahuan yang mereka miliki itu, tidak menjadikan mereka enggan saling mengirim makanan. Ibu B, yang mendukung nomor sekian, nyatanya masih mengirim buah rambutan yang tumbuh di halaman rumahnya kepada Ibu D, meski Ibu B mengetahui bahwa Ibu D adalah pendukung nomor yang berbeda.

Perbedaan tidak melahirkan tawuran antar tetangga. Tidak menghentikan kebaikan demi kebaikan yang terus bergulir, seperti sebelum waktu pemilihan.

Saat hasil pemilihan diumumkan. Yang memilih pemenang, mungkin akan sedikit bahagia, karena harapannya mungkin akan menjadi kenyataan. Sedangkan pendukung yang kalah, tak sakit hati, tidak pula dendam, pada mereka yang menang. Selepas di TPS, semua kembali pada kehidupan semula. Saling berbagi. Saling mengunjungi. Menjenguk jika mendengar ada seorang tetangga yang sakit. Semua kembali seperti biasa.

Namun kehidupan politik tidak sesederhana yang aku gambarkan di atas, Nak.
Mereka, yang mengatasnamakan rakyat, seringkali malah melupakan rakyatnya, lantas baku hantam, saling berebut piring, untuk memasukan nasi sebanyak yang mereka bisa, untuk diri mereka sendiri, untuk golongan mereka sendiri. Mereka tak lagi ingat, bagaimana wajah-wajah penuh pengharapan yang keluar dari bilik suara. Bermimpi kehidupan akan lebih baik dari hari ini.

Nak, esok aku akan mengajakmu ke Tempat Pemilihan Suara. Agar kelak, jika kau sudah dewasa, dan bertekad menjadi pemimpin, akan selalu ingat bagaimana raut wajah mereka yang keluar dari bilik suara itu. Di sana, segala harapan tersimpan. Dan yang terpilih, berkewajiban mewujudkannya.

1 komentar:

Sepatu Gunung Cibaduyut mengatakan...

Semoga Para Pemimpin yang telah kita pilih bisa menjalankan amatnya dengan baik amin. makasih gan dah berbagi cerita

Hutan untuk Masa Depan: Kisah Inspiratif A'ak Abdullah Al-Kudus

Beberapa bulan ke belakang, tepatnya bulan Maret 2023, kawasan hutan Lindung Ranca Upas rusak, hamparan bunga rawa tak bersisa. Kerusakan ka...