Desember 10, 2005

Mungkinkah binatang lebih berkebudayaan?

Wajar kalau pertanyaan di atas muncul begitu saja. Seakan-akan manusia tidak lebih berharga dari binatang. Ya, bukankah sudah banyak terjadi bahwa anak membunuh ayahnya dan ayah memperkosa anaknya? Perbuatan macam itu lebih hina daripada binatang bukan? Itu baru satu sisi saja. Mari kita tinjau sisi yang lainnya.

Tiba-tiba saya harus dihadapkan pada satu kejadian yang sangat dilematis. Di satu sisi, saya tahu bahwa saya sedang melakukan banyak kesalahan. Saya membiarkan diri saya dizalimi secara terang-terangan. Tapi saya tidak bisa melawan. Kalau pun saya memaksakan melawan, maka satu kompi bahkan satu batalyon di belakang saya akan hancur tanpa pernah bisa merasakan hasil dari jerih payah yang selama ini kami lakukan dengan harapan kelak punya kekuatan untuk bisa melawan dengan sepenuh taktik, sepenuh strategi.

Mereka mengatasnamakan kebudayaan dengan cara menzalimi kami yang berada pada kasta paling rendah dalam urutan birokrasi. Saya hanya ingin berkegiatan dengan hati riang gembira, dan kawan-kawan saya pun akan menyepakatinya. Kami cukup bahagia dengan sedikit cemilan dan segelas air mineral. Tidak lebih. Tapi kami cukup bahagia.

Lantas kenapa mereka masih saja mengambil sedikit cemilan itu dengan paksa dari lidah kami? Kami dijambaknya dan apa yang baru akan dikunyah itu lepas dari mulut kami. Kami hanya menemukan remah dari sisa-sisa mereka yang mengatasnamakan kebudayaan.

Anjing!
Terkutuklah mereka yang berada di balik kursi-kursi birokrasi, yang ongkang-ongkang kaki dengan memakan uang korupsi. Anjing! Terkutuklah kalian binatang!


Amin.
Semoga doa orang-orang yang dizalimi ini terkabul, Tuhan!

3 komentar:

M Arfah D mengatakan...

Tulisan T'Wida mengingatkanku pada satu kejadian:

Pernah suatu malam, sehabis kegiatan di Ultimus, aku pulang bersama seorang kawan yang baru beberapa saat kenal. Naik angkot jurusan Kalapa-Dago. Dan saat menunggu kendaraan menapaki Simpang Dago, kami membicarakan kegelisahan besar ongkos yang mesti dibayar nantinya. Memang, beberapa hari lalu pemerintah mengeluarkan 'kebijakan' untuk menaikkan harga BBM. Hingga menelusuri jalan sepanjang Djuanda, kegelisahan semakin meresahkan. Ternyata, memang anjing! Kami membayar lebih dari yang kami duga!

Kawan itu bercerita, ia terpaksa meminta kiriman uang ke orantuanya, satu hal yang jarang ia lakukan semenjak bergelut di dunia toko buku dan fotografi. Ia merasa ditindas, dan berada dalam siklus setan yang entah siapa yang memulainya.

Aku menyetujui. Tapi lingkaran penindasan ini terlihat semakin abstrak, semakin kabur. Sepertinya kami (atau kita) berada dalam akhir lingkaran penindasan, berada pada kasta paling rendah. Entah siapa yang kami tindas, entah siapa yang ingin kami rajam. Entah!

Semoga kutukanmu menjadi, T'! Sementara itu kita masih berjuang dalam perjalanan tanpa ujung.

Anonim mengatakan...

wow!

Anonim mengatakan...

wow!

Hutan untuk Masa Depan: Kisah Inspiratif A'ak Abdullah Al-Kudus

Beberapa bulan ke belakang, tepatnya bulan Maret 2023, kawasan hutan Lindung Ranca Upas rusak, hamparan bunga rawa tak bersisa. Kerusakan ka...