:untuk E Imam Rakhman dan Desi Rahmayanti
Menikah
itu seperti mendaki gunung. Mendaki gunung berdua, meretas jalan baru yang tak
pernah terinjak orang lain sebelumnya. Begitulah saya memberi perumpamaan. Kami
berdua asing satu sama lain pada awalnya. Ada perasaan aneh dalam diri saya
saat terbangun dan menyadari ada seseorang di tempat tidur. Rasa asing itu juga
saya rasakan pada banyak hal.
Membuka
jalan baru dengan ransel yang tidak bisa dibilang ringan, tentu bukan hal
mudah. Dalam ransel saya ada tanggung jawab seorang istri. Di dalam ranselnya,
ada tanggung jawab seorang suami. Beban dalam ransel itu benar-benar baru. Dan
kami harus memikulnya sendiri-sendiri. Ransel yang saya pikul tak mungkin dia
bawakan, begitu pun sebaliknya. Kami punya peran masing-masing dalam pendakian
ini.
Seringkali
kami merasa terlampau lelah untuk melanjutkan perjalanan. Lalu kami memutuskan
istirahat sejenak. Pernah beberapa kali kami harus membuka tenda bukan pada
tempatnya. Sebab cuaca dan terjal jalan membuat kami membangun tenda darurat.
Pengertian
adalah peta yang akan menunjukkan sebuah titik yang ingin kami tuju. Kesabaran
adalah senter yang akan menerangi kami dalam kondisi paling gelap sekali pun.
Dan komunikasi adalah kompas yang akan memberi arah ke mana kami harus
melangkah. Pendakian kami hanya sia-sia tanpa itu semua.
Sepanjang
pendakian itulah, kami merasakan bagaimana rasanya kehabisan perbekalan.
Bagaimana pada satu ketika kami bersitatap dengan hewan buas. Bagaimana rasanya
cuaca yang tak bersahabat menghajar tubuh kami sampai babak belur.
Namun
kelelahan itu, kesulitan itu, begitu mudah terlupakan saat kami sudah membuka
tenda, membuat perapian, menyeduh kopi, menatap bintang-bintang di langit.
Jutaan
bahkan ribuan bintang itu seolah berkata, bahwa kami adalah manusia paling beruntung.
Karena kami dipertemukan dan diberi kesempatan untuk bisa berdua, menuju sebuah
puncak yang sama.
Kini
kami sudah berempat. Dua bocah mungil di samping kami masih menggendong ransel
mungil. Isinya hanya air dan makanan. Jika mereka haus dan lapar, mereka tak
lagi hanya bisa menangis.
Puncak
yang kami tuju masihlah jauh. Masihlah tinggi. Tapi kami masih terus mencoba
menapakinya. Dengan senter, peta, dan kompas yang sama sejak pendakian ini
dimulai.
Dan
besok, besok adalah hari istimewa untukmu, untuk kalian berdua. Kami tak bisa
hadir di sana. Menyaksikan bagaimana kalian bersatu dalam satu ikatan. Namun
percayalah, kebahagian kalian berdua adalah kebahagiaan kami juga. Doa kami
tercurah untuk kalian, sepasang pengantin yang berbahagia.
Selamat
mendaki kehidupan. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah. Catatan ini kami buat sebagai hadiah untuk kalian berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar