Begitu hening kematian itu. Langkahnya
seperti pencuri yang mahir, mengendap-endap, tak ada yang bisa mendengarnya. Di
antara kita, siapa yang akan lebih dulu bertemu? Tak pernah ada yang tahu.
Kematian bersijingkat, pelan tapi pasti,
merasuk ke dalam rasa sakit, kecelakaan, banjir bandang, longsor, puting
beliung, kebakaran, kelaparan, peperangan, genosida. Namun seringkali, kematian
benar-benar senyap. Dia datang begitu saja pada mereka yang tengah khusyuk
beribadah, tertidur lelap, atau bahkan duduk-duduk minum kopi.
Dia, kematian itu, tak pernah memilih
agama, warna kulit, usia, jenis kelamin, jabatan, keahlian, bahkan kepintaran.
Dia datang pada siapa saja yang dikehendakinya. Anak-anak. Orang tua. Anak
muda. Si Kaya. Si Miskin. Kita begitu awam di hadapan kematian.
Beberapa detik setelah kematian datang,
kita yang hidup baru disadarkan. Bahwa seseorang di dekat kita sudah tak ada.
Sekejap. Hanya sekejap. Begitu tak terduga.
Tangis kehilangan, tangis kesedihan, tangis
perpisahan, tangis kengerian, tangis-tangis pecah begitu saja. Seringkali kita
yang hidup berlarut-larut dengan rasa kehilangan dan ditinggalkan. Seringkali kita
yang hidup terus-menerus memelihara ingatan pada mereka yang meninggalkan.
Kita yang hidup seolah merasa lebih beruntung
karena masih bisa menjaga tubuh tetap bernafas. Masih bisa ngopi, masih bisa makan
makanan favorit, masih bisa meraih cita-cita yang diimpikan, masih bisa, masih
bisa, dan masih bisa lainnya.
Padahal dalam hati kecil kita yang hidup,
diam-diam kita berucap lirih, sungguh beruntung si fulan karena dia sudah tak
ada. Dia tak akan lagi dikejar hutang, tak akan lagi dikejar cicilan di bank,
tak akan lagi berpikir mau makan apa besok pagi dengan uang yang tinggal goceng,
tak akan lagi berpikir apakah Ahok akan menang Pilkada DKI.
Mereka yang telah berjumpa kematian adalah
mereka yang telah merdeka dari hal-hal remeh-temeh dunia. Terlepas dari
perdebatan tak usai-usai di media sosial. Terlepas dari beban bahwa bumi ini
semakin hari semakin rusak, dan kelak dia tak layak dihuni manusia lagi.
Lalu kehidupan setelah kematian? Kita yang
hidup hanya bisa menduga-duga. Apakah mereka benar-benar merdeka dan bahagia
setelah berjumpa kematian, ataukah sebaliknya.
Kita hanya perlu menginsyafi diri, bahwa
di hadapan kematian, segala kepintaran, kekayaan, dan kesombongan kita
benar-benar tak ada artinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar