Maret 05, 2004

kepada siapa beku ini kukirimkan?

siang yang garang, dalam geliat usang yang senantiasa terbaca arahnya kau dan aku masih juga berlari. mungkin mengejar senja yang sebentar lagi datang, atau mungkin mengejar matahari yang perlahan beranjak ke barat, atau bahkan tak mengejar apapun. kau dan aku masih terus berlari, keringat mengucur dari rambutku, dari dahimu, dari tubuhmu juga tubuhku. tapi kau dan aku tak juga berhenti, sedangkan jalan-jalan semakin sepi dan jantung kota telah jauh ditinggalkan.

matahari tak lagi tampak, senja pun sudah berangkat, dan kita masih juga berlari. menembus pekat yang kian likat. angin menderu, awan hitam, dan rembulan turun perlahan. kita, masih juga asin dan berkeringat. angin tak mampu menggugurkan tetesan itu dari tubuh kita. arah pun juga waktu tak lagi berkuasa, kaki kita lebih paham kemana langkah akan terkayuh. cuaca hanya musik sengau yang mengantarkan jenazah ke pemakaman.

maka ketika bulan pun raib, kita tak pernah tahu kemana kaki kita akan berlari mengirimkan beku yang kian menggumpal dan mengental dalam dada.

Tidak ada komentar:

Hutan untuk Masa Depan: Kisah Inspiratif A'ak Abdullah Al-Kudus

Beberapa bulan ke belakang, tepatnya bulan Maret 2023, kawasan hutan Lindung Ranca Upas rusak, hamparan bunga rawa tak bersisa. Kerusakan ka...