Desember 28, 2016

Cerita Tiga Kota


Bagi mahasiswa iseng seperti saya, yang masuk kuliah hanya karena iseng-iseng. Iseng ikut UMPTN, iseng memilih jurusan Bahasa Indonesia, dan iseng-iseng diterima. Ternyata Pentagon lantai 3 menjadi tempat yang bukan sekadar tempat iseng-iseng.

Di lantai 3 gedung Pentagon, saya bertemu Eddi Koben, Anka Wijaya, dan banyak nama lainnya (nama-nama lain akan saya ceritakan di lain waktu). Koben dan Anka, dua tahun lebih tua dibanding saya. Merekalah yang mengospek saya saat saya masuk ke kampus UPI (dulunya IKIP). Koben menjadi ketua himpunan saat itu. Anka, saya ingat dia juga bagian dari senior yang aktif (tidur) di kampus.

Saat masih tingkat satu, iseng-iseng saya main ke Himpunan yang letaknya di lantai 3 itu. Keisengan saya berlanjut, sampai akhirnya, saya lebih senang kuliah di sebuah ruangan bekas toilet dibandingkan kuliah di kelas. Saya lebih senang mendengarkan pelajaran dari para senior ketimbang menyimak pelajaran dari para dosen.

Bersama Koben dan Anka, saya seringkali menghabiskan malam-malam di kampus. Mencari buah-buahan yang matang, mencuri singkong di kebun orang, sampai suatu kali kami pernah mendapati ikan lele menggelepar di sebuah gedung asrama putri.

Koben orangnya kalem, baik hati dan tidak sombong. Dia tipe pria idaman wanita. Sedangkan Anka, laki-laki satu ini, punya kemampuan yang unik. Sinyalnya 4G jika berhubungan dengan mahasiswi. Dia akan tahu jika beberapa menit lagi akan ada mahasiswi yang datang. Saya seringkali merasa menjadi laki-laki juga jika sedang bersama mereka berdua.

Lantai 3 gedung tua itu menjadi saksi bagaimana saya belajar mencatat segala peristiwa. Menyusun sunyi jadi puisi. Menangkap riuh dan gelegak jadi sajak. Saya belajar menangkap kata-kata yang berhamburan untuk dituliskan. Di sana juga, saya mengasah kata-kata menjadi senjata.

Waktu bergulir. Saya melepaskan diri dari kampus, menyusur jalan sendiri. Belasan tahun saya berpisah dengan seluruh penghuni lantai 3. Belasan tahun berpisah adalah belajar memendam rindu, menyimpan baik-baik seluruh kenangan agar bisa dikenang di saat yang tepat.

Koben yang pertama menikah di antara kami bertiga. Dia sempat merantau ke Serang lalu kembali ke Cimahi. Saya sendiri menikah tahun 2009. Selepas menikah, saya menetap di Ciamis. Sedangkan Anka, akhirnya menikah di tahun ini dengan gadis Sukabumi. Sukabumi kini menjadi rumahnya.

Tahun 2016 mempertemukan kami kembali. Lalu muncul keinginan untuk membuat buku bersama. Sebagai pengajar, Koben ingin bukunya menjadi bahan bacaan pelajar. Maka dia memberi gambaran, bahwa cerpen-cerpen yang kami kirimkan untuk buku haruslah layak dibaca oleh pelajar.

Maka buku kumpulan cerpen Cerita Tiga Kota ini adalah bentuk reuni sederhana kami.

Desember 22, 2016

Menjadi Perempuan


Saya atau pun juga Anda, tentu tidak pernah bisa menentukan ingin dilahirkan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Saya hanya memahami bahwa menjadi perempuan adalah menampung seluruh perasaan yang ada di alam semesta.

Menjadi perempuan adalah memahami seluruh duka nestapa yang dikirim pada seluruh umat manusia. Menjadi perempuan adalah belajar sepanjang hayat untuk selalu ikhlas menerima kepergian, dan terbuka pada segala kedatangan. Anak-anak yang pergi, lalu kembali saat mereka ingin kembali.

Menjadi perempuan tidak selamanya menjadi ibu. Tapi tidak ada perempuan yang tidak lahir dari seorang ibu.

Selamat hari perempuan. Selamat hari Ibu. Selamat hari Ibu. Selamat hari Ibu, untukmu....

Hutan untuk Masa Depan: Kisah Inspiratif A'ak Abdullah Al-Kudus

Beberapa bulan ke belakang, tepatnya bulan Maret 2023, kawasan hutan Lindung Ranca Upas rusak, hamparan bunga rawa tak bersisa. Kerusakan ka...