Mei 23, 2009

Kepada Mei

Mei, di tubuhmu aku menemukan laut
lengkap dengan gelombang dan pasirnya
di matamu aku menemukan matahari dan bulan saling dekap
di jantungmu, waktu melulu berdetak, meledak

Mei, jika malam telah larut, senyap ini akan merayap
dalam gelap, melulu ada yang kalap serupa pembalap
tapi aku dan kamu senantiasa terjaga dalam lelap
ah, tapi begitu cepat jalan-jalan terlewat
dan kamu sebentar lagi berangkat

Mei, kepada siapakah kutitipkan getir ini?
jika dadamu tak lagi menerima segala luka.
tiba-tiba

senja turun perlahan, menyelimuti kampus yang pohonnya tidak serimbun dulu. udung, kawanku yang satu itu, naik ke lantai dua tempatku berada dengan membawa segelas kopi, gelas plastik tepatnya. dia menyalakan rokok, menyeruput kopinya dalam-dalam. aku memperhatikan dia lama sekali. sudah lama kami tidak melakukan banyak hal bersama-sama. dia tentu saja sibuk dengan rutinitasnya yang baru, sebagai seorang sutradara. aku sendiri, sudah lama tidak diam di kampus lama-lama. aku sering datang, tapi secepat mungkin pergi lagi. kampus beberapa bulan terakhir membuatku merasa terpenjara. entah kenapa.

di sini, di lantai dua, sebuah ruangan yang baru saja kami tempati di awal tahun, tempat yang disediakan kampus untuk menjadi ruang berkegiatan kami, mulai kotor, meski memang sudah kotor sejak ditempati, tapi menjadi semakin kotor. ya, dari sekian kepala tak ada yang memikirkan persoalan bersih dan tidak mungkin. termasuk aku. hahaha...

tapi di ruangan ini pula, aku bisa merasakan lagi suasana tahun-tahun awal memasuki kampus. kawan-kawan yang sudah sejak lama bersama-sama, kadang-kadang muncul di sini tiba-tiba, tanpa terduga. dia akan menceritakan aktivitasnya di luar kampus. ya, banyak dari kami sudah jarang ke kampus meski kuliah belum lulus. mungkin ini fase paling buruk sekaligus paling menentukan dari riwayat hidup kami di kampus ini.

senja mulai turun. kopi memasuki tenggorokanku pelan. dan tiba-tiba seseorang menelponku: aku sudah di depan kampus, kaleeee...

itu suara yani, dia datang ke kampus, seperti yang lain juga, tiba-tiba...

Mei 12, 2009

saya tahu tak semuanya bisa selesai dengan diam. tapi kata-kata telah mati. kehidupan telah mati jauh sebelum kata-kata mati. saya hanya tubuh yang memanggul kekosongan. tak ada apapun. tak ada siapa pun. segalanya yang saya lalui kini hanya jalan-jalan yang melulu sepi. saya telah membunuh diri saya sendiri. saya telah jatuh ke dalam palung yang dibuat oleh saya sendiri. saya telah memutuskan untuk mati. bagi diri sendiri. bagi hati sendiri. bagi sunyi. sendiri.

tak ada apapun kini. tak ada. yang kamu lihat dari saya cuma kekosongan yang panjang. kegelapan tiada akhir. saya bahkan telah melupakan siapakah saya, siapakah kamu, siapakah orang-orang itu. saya telah mencoba berdamai dengan diri sendiri, tapi tak bisa. yang saya butuhkan kini cuma kematian. kematian. kematian. kematian.

saya ingin mati. sendiri. agar tak ada lagi yang merasa tersakiti, disakiti, bahkan dikhianati. saya ingin mati. mati. mati. mati. mati. mati.

Hutan untuk Masa Depan: Kisah Inspiratif A'ak Abdullah Al-Kudus

Beberapa bulan ke belakang, tepatnya bulan Maret 2023, kawasan hutan Lindung Ranca Upas rusak, hamparan bunga rawa tak bersisa. Kerusakan ka...