Maret 11, 2009

sebuah malam di ciwastra

hujan menderas ketika aku membuka pagar rumahmu. memasuki pintunya aku seolah memasuki ruang yang melulu basah. kamu membuka pintu lantas menatap ke luar, seolah mencoba memahami bahwa guyuran hujan yang membasahi tubuhku tak ubahnya sebagai seorang kawan yang mengantarku sampai depan pintu. aku tergesa-gesa masuk, menjatuhkan ransel, lantas membuka jaket yang kuyup. kamu memberikan baju, memberikan kain, seperti memberi percikan api pada sebatang rokok.

kita duduk di meja makan, satu-satunya tempat bagi kita untuk bercerita tentang apa saja. setelah selesai percakapan, kamu akan memasuki kamar, menghadap laptop, dan aku akan khusyuk membaca kalimat demi kalimat pada lembaran di tanganku sekadar memberi tanda pada kata yang ganjil atau sekadar salah cetak.

kita akan memasuki dunia sunyi, sendiri sendiri. sampai tiba waktunya tempat tidur itu memanggilmu lebih dulu. lantas aku akan menatap matamu yang terpejam itu lama sekali. aku lalu akan mengambil rokok di mejamu, tentu saja bukan rokok kesukaanku, tapi tetap kuambil juga, menyalakannya di luar kamar. lantas menghisapnya dalam-dalam.

malam ini aku tak menyusulmu ke tempat tidur, karena pagi telah memanggilku lagi.

Hutan untuk Masa Depan: Kisah Inspiratif A'ak Abdullah Al-Kudus

Beberapa bulan ke belakang, tepatnya bulan Maret 2023, kawasan hutan Lindung Ranca Upas rusak, hamparan bunga rawa tak bersisa. Kerusakan ka...