Juni 18, 2003

reportoar stasiun tua

kini tinggal sunyi yang tertinggal dari sekelumit perbincangan.
desau angin dan rintih pepohonan mengabarkan sebuah kampung
halaman yang terlupakan zaman
bangkubangku menggigil ditinggal bergegas sebuah kepergian.
di sini, orang mencipta jarak. mengubur kenangan pada tiang
tiang dan rel yang ditumbuhi ilalang

perempuan dengan tas merah itu mendekap gelisahnya di batubatu,
memandang jantung kota. menunggu mereka yang tersesat
di keramaian kembali ke asal bayangan

lumut di kepalaku mengabarkan tentang seekor semut yang merindu
iringiringan, jabat tangan dan peluk hangat. betapa secangkir kopi
menjadi artefak dalam aortaku, betapa lampulampu telah mati
sejak lama, betapa rembulan setia menangisi rantingkering di kakiku,
betapa seluruhnya menjadi bisu setelah perjalanan dilarung dalam badai.

BumiAllah, 17 Juni 2003

Juni 14, 2003

rendezvous 10
: kepada namanama yang pernah disinggahi


aku hanyalah pengembara yang tertatitatih melangkah
dalam kabut. menyibak semak belukar dengan harapan bertemu
seorang kawan atau sekoloni burung yang ramai berdendang

aku hanyalah musafir yang singgah di setiap kota
mengukir kenangan pada batubatu di rahimku yang kelak lahir
menjadi puisi atau sepotong doa

aku hanyalah pejalan yang akan terus berjalan sampai waktu
menguburku dalam tetirah yang abadi. sekedar berjalan
tanpa tujuan, tanpa harapan. perjalanan yang hanya bersisa
letih di ujung perjalanan

sedang engkau adalah keabadian yang fana
mencintai tanah sendiri, membangun kampung halaman
menjadi kota megah yang dipuja semua pejalan
maka kau pun membangun rumahrumah peristirahatan bagi orang
orang sepertiku, yang mencintai perjalanan melebihi cintanya
pada rumah dan anakanak

aku hanya seseorang yang melintas di kisahmu
tanpa menyisakan apa pun selain kenangan
sedang engkau telah tergores kuat disini
dalam dadaku yang abu.

Surabaya-yogya, akhir mei 2003
rendezvous 9
: pandu


engkau peri kecil dalam perjalanan pulangku
rindu pada keluarga yang tertinggal semakin merajam dalam ingatan
aku merasa letih, memimpikan peristirahatan yang masih terasa jauh dari pandangan

terima kasih, telah kau izinkan aku singgah di sini
menikmati lari kecil seorang bocah, tegur sapa seorang bunda, belai kasih seorang simbah, seorang adik, dan seluruh sapa orangorang yang tercinta
terima kasih telah meminjamkan seluruhnya untuk kunikmati sendiri
tanpa kata

padamu kutemukan aosis yang menghilangkan seluruh letih dalam gurun perjalananku yang gersang, namun perjalanan harus diselesaikan
maka menjelang malam kukemas kembali seluruh beban, aku akan memikulnya hingga kembali ke dalam sejarah pertama kali dimulai

“bunda aku pergi!” katamu seraya mencium telapak tangannya
dalam bayangan, kutemukan wajah seorang ibu yang cemas menanti kabar kepulangan seorang anak

“bunda, aku akan pulang,” lirih ucapku dalam diam.

sidoarjo, 27 mei 2003
rendezvous 8
: w. haryanto


aku jatuh cinta pada puisimu, tapi untuk benarbenar merasai gemetar rindu yang membuncah, serupa gunung yang menyemburkan api dengan begitu sempurna, tak bisa kulakukan. sebab terlalu lama kuendapkan rindu ini pada tanah basah sebuah jurang di kampung tua impian
terlalu sulit kumaknai ini sebagai sebuah kenyataan yang sungguhsungguh terjadi dalam perjalanan hidup yang kulalui

usiaku mencapai pohon kelapa ketika suaramu tak sekedar hurufhuruf yang hanya mampu kubaca. masa remajaku dipenuhi mimpi tentangmu, hingga jadilah aku sebagai penyendiri yang berdiam di lembahlembah sunyi tak bernama

ribuan labalaba membuat jaring dalam mulutku
maka tak sepatah kata rindu pun meluncur
aku masih sibuk berdiskusi dengan sunyi di lorong batinku, ketika kau sedikit demi sedikit memahat kenanagn pada jantungku

engkau adalah sungai yang tenang dengan kedalaman paling kelam
tak mungkin bagiku menyelami jiwamu
meski aku belajar berenang pada ikanikan, belajar menyelam pada batubatu
biarlah aku di sini, di tepi sungai dengan nafas reranting kering
merekam adegan demi adegan untuk kubawa pulang menuju ketiadaan

esok, saat kau menjadi cakrawala
kau akan melihatku menjadi titik paling kecil yang tak berarti apa pun bagi hidupmu yang serupa cahaya.

DKJT, 27 mei 2003
rendezvous 7
: susilo


malam lalu aku bertemu denganmu
entah dalam ruang ingatan yang mana
raut wajah itu telah menghiasi album foto
di kamar batinku, meski tak pernah ada
yang tahu sejak kapan kau mulai hadir disana

hidup adalah mencari diri sendiri, katamu pelan
seakan meniupi luka di dada kiri. ingatanku hanyut
akan hurufhuruf yang kita larung pada malam
malam pengembaraan sebuah senggama dewa-dewi,
tapi kau dan aku tak terbiasa telanjang dalam gulita
maka terhempaslah segala asa, kau beronani saat
ejakulasi dini menyergap pengapku yang abash

berlarilah belalang!
ada ular di samping kirimu.

Unair, 27 mei 2003
rendezvous 6
: deni tri aryanti


terima kasih untuk pengertian yang hanya bisa kubayar
dengan separuh nyawaku. perjalanan ini digelar atas kesadaran
akan mimpi. sebuah puisi telah menjadi candu dalam hidup ringkihku,
seperti asal mula ruh mengisi jasad, aku pun mencaricari inspiratorku
yang hanya bayangan

hingga kulabuhkan perahu kecilku pada dermaga ini
mewujudkan bayangan dalam konstruksinya yang nyata hingga aku
bertemu denganmu, menjalin kisah kecil yang biasa

engkau telah menjadi perempuan yang kelak mencipta anakanak
dalam rahim puisimu, sedang aku masih saja berjalan sendirian menjadi gembala bagi mimpi yang berkuasa di rimbarimba hati. aku masih memuja kesendirian sebagai seorang sufi yang bercinta dengan sunyi

maka dalam lemari ingatan, masih kusimpan lembarlembar rambutmu
seperti juga telah kusimpan rasa terimakasihku untuk kelak kubayar
pada pertemuan kedua, jika tuhan masih mengizinkan pengembaraan ini kembali kularung.

DKJT, 27 mei 2003

Juni 07, 2003

rendezvous 5
: puput amiranti n


engkaulah laut itu, rambutmu menjadi gelombang tersendiri
hanya mampu dibaca angin. sedang aku, hanyalah orang asing.
sendirian di pantai, memandangmu. melupakan kisah tentang
airmata

senyummu adalah doa yang terlantun dari lirih dindingdinding
kamar yang menyimpan perbincangan, sedang aku memilih
menjadi ranjang bisu yang menghantarkanmu kedalam kampung
bawah sadar yang damai

andai saja ada angin yang berhembus lebih kuat ke arahmu
mungkin akan kumasuki kamar, tempat sakramensakramen
dipajang menjadi upacara pembabtisan akan usia dan jarak
tempatmu menyalib puisi pada kertaskertas kosong, tapi cuaca
hanya membuatku menjadi seorang pendosa yang berdoa
di beranda gereja

masih kupandangi ombak di rambutmu, sampai harus kuucapkan
sebuah kata yang kubenci; selamat tinggal
kelak, aku ingin kembali ke pantaimu
memandangmu dari jarak paling lekat.

Gapus, 27 mei 2003

Juni 04, 2003

rendezvous 4
: dheny jatmiko


aku datang sebagai layanglayang, berbekal hembus angin
tepat menuju kotamu. maka aku akan pergi
ketika hembus angin berbalik arah, mengembalikanku
ke asal bayangan, engkau pun bercerita tentang nama
nama yang telah lama kutahu
tapi aku tak pernah benarbenar mengenalnya

puisimu nyata, tak sekedar hurufhuruf
adalah laut dengan ombak meradang. aku yakin,
kau belumlah mampu memaknai
seutuh sunyi dalam labirin malam. kisah demi kisah
kita larung menjadi penggalanpenggalan sejarah dalam kepalaku

aku menjadi rabun tentang hutan cemara
yang menyimpan masa silamku. ada yang terhempas
saat kusadari aku sendirian di sini. menyusuri jalanjalan asing
dengan seribu mimpi tak usaiusai.

aku merasa asing di sini.

surabaya, 26 mei 2003


rendezvouz 3
: ribut wijoto


ini serupa mimpi, tapi kau telah benarbenar hadir dalam malam yang melelahkan. kotamu telah menjadi hilir yang menerima jasadku dari muara nun jauh di sana. muara tempatku mengalirkan letih tak lagi menerimaku sebagai seseorang yang sakit

ya, akulah si sakit yang membawa luka sepanjang hidup masih bergulir
engkau mungkin paham, sebagai pesakitan, aku tak mungkin membawa kabar gembira. seperti malammalam yang lalu, aku selalu menjadi stasiun yang sepi

di matamu, aku melukis danau. warna biru pada permukaannya kuambil dari laut yang gelombangnya menghempas jantung
di hatimu, kutemukan padang rerumputan yang lapang dan aku berteduh di bawah rindang pepohonan dalam jiwamu

setelah hari ini, aku masih akan merindu perbincangan tepat di jalanjalan kotamu. sebagai pejalan yang memikul luka sendiri, aku iri dengan hariharimu yang mencipta puisi dari langkah kaki sendiri

di kotamu, kutemukan makna puisi seutuhnya.

Surabaya, 26 mei 2003


rendezvous 2
: didik


kotamu adalah dunia baru tak tersentuh kakiku, seperti anak kecil yang hilang dalam keramaian pasar. aku linglung dalam ketidaktahuan
mataku nyalang, mencoba menemukan sosokmu yang entah

kau, dengan senyummu telah menjadi ibu bagi rasa cemasku
aku menghambur dalam peluk hangat sebuah jabat tangan
inilah kota impian, tempat masa lalu pernah singgah mengabarkan sebuah nama yang masih juga samar dalam pandangan

kau tuntun aku menuju tempatnya tetirah
sebagai seorang yang berjalan di kesunyian
yang mencair seperti cahaya, atau mungkin serupa bayangan
kau tuntun aku menuju kepastian. menemukan kembali mimpi yang telah lama terkubur dalam rutinitas hidup berkubang kebosanan

telah kau tuntun aku mencium harum kotamu
yang akan menyimpan jejak, menggoreskan kenangan
suatu saat, ketika yang kudengar hanya puisi.

Stasiun gubeng, 26 mei 2003

Hutan untuk Masa Depan: Kisah Inspiratif A'ak Abdullah Al-Kudus

Beberapa bulan ke belakang, tepatnya bulan Maret 2023, kawasan hutan Lindung Ranca Upas rusak, hamparan bunga rawa tak bersisa. Kerusakan ka...